Dosen |
Tidak mudah menjadi dosen yang inspiratif dan inovatif. Karena pada umumnya, dosen-dosen kita dilahirkan dari tradisi perkuliahan yang tidak menginspirasi. Tetapi tanggung jawab sebagai dosen tidak dapat diabaikan setelah 'menceburkan' diri ke dalamnya. Pada pasal 1 UU No. 14 tahun 2005, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pasal 45 menyatakan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Memahami tanggung jawab ini, seorang dosen harus terus-menerus mengembangkan diri agar menjadi inspirator dan motivator, bukan hanya menuntut mahasiswa untuk lebih kreatif sementara ia sendiri menunjukkan cara mengajar yang sangat ketinggalan zaman.
Dalam UU No. 14 tahun 2005 tidak disebutkan syarat 'inspiratif' bagi dosen. Tetapi kemampuan menginspirasi bagi dosen sangat menunjang tugasnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa "pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Sifat inspiratif bagi seorang dosen merupakan kemampuan menggerakkan mahasiswanya tanpa memaksa, membangun kesadaran dan ketulusan untuk berbuat lebih baik dan memperbaiki. Kemampuan seperti ini adalah karakter dari fungsi dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Saya tidak hendak membahas hal ini dalam nuansa akademis yang serba ilmiah karena itu di luar kemampuan saya. Maksud saya menghadirkan tulisan ini sekedar mencurahkan gagasan-gagasan lepas dari penyaksian saya terhadap berbagai fenomena pembelajaran di perguruan tinggi yang seharusnya 'menyenggol' sifat kritis mahasiswa. Mahasiswa kritis dalam hal ini bukanlah yang hanya pintar menghakimi situasi yang tak patut dalam nalarnya, tetapi yang mampu menawarkan ide-ide cemerlang dan aplikatif untuk mengarahkan situasi menjadi lebih baik dan bermakna. Sebagai salah seorang mahasiswa di Sekolah Tinggi Teknologi Industri Bontang (STTIB), saya akan sangat bersemangat ketika membincang tentang visi masa depan STTIB. Saya hendak meyakinkan bahwa betapapun selama kuliah di suatu kampus kita banyak mendapatkan pengalaman yang tidak nyaman, baik dalam berhadapan dengan dosen berbagai model, maupun dalam berurusan dengan birokrasi kampus, namun ketika berada di luar atau setelah menjadi alumni, kita cenderung membanggakan almamater kita. Saya ingin spirit ini menjangkit kepada seluruh mahasiswa STTIB agar satu suara menggerakkan perbaikan kampus sehingga kelak kita tidak mendongengkan kebanggaan semu yang sejatinya adalah sedimentasi kekecewaan.
Kembali ke masalah 'inspiratif', Rhenald Kasali pernah menulis tentang fenomena guru yang dibaginya dalam dua kategori, guru kurikulum dan guru inspiratif. Guru kurikulum mengajar sesuai standar kurikulum sedangkan guru inspiratif tidak hanya terpaku pada kurikulum, tetapi memiliki orientasi yang lebih luas dalam mengembangkan potensi dan kemampuan siswanya. Merujuk pada pembagian Rhenald Kasali, kategorisasi ini tidaklah dimaksudkan dalam sisi negatif yang tidak diinginkan. Karena menurutnya, keduanya tetap dibutuhkan meskipun beliau menekankan nilai plus bagi guru yang inspiratif. Tapi sayangnya, guru inspiratif hanya terwakili kurang dari 1 persen dari guru yang ada. Situasi ini dimapankan oleh sistem sekolah kita yang hanya memberi ruang bagi guru kurikulum.Guru dalam pengertian ini tentunya tidak harus dibatasi sampai jenjang SLTA saja atau dalam lingkup pendidikan formal saja. Tetapi dapat mencakup makna guru yang lebih luas termasuk dosen di perguruan tinggi.
Pada bagian terpisah dari fenomena guru kurikulum dan guru inspiratif, mahasiswa kadang dibuat gusar oleh keberadaan dosen yang diberinya label 'killer'. Secara umum, killer berarti pembunuh. Tetapi dapat pula berarti sesuatu yang menyulitkan atau mempersulit. Arti yang kedua ini mungkin menjadi dasar labelisasi dosen killer. Tidak perlu dijelaskan di sini tentang ciri-cirinya, karena rasanya terlalu naif jika ada mahasiswa tidak paham yang dimaksud. Satu hal yang ingin dipastikan di sini bahwa Sang Dosen Killer tidak akan membawa suasana yang enak di hati mahasiswa, terutama mahasiswa yang manganut paham permisif (serba boleh) dalam ujian jika tidak ketahuan pengawas. Tetapi bagi mahasiswa yang 'manis dan penurut', tentu akan berkilah untuk mengambil sisi positifnya seperti dijadikan pemacu untuk lebih giat belajar dan bersungguh-sungguh mencerna kuliah dari Si Dosen Killer. Sayangnya mahasiswa seperti ini tidak banyak dan kita patut curiga pada masa depannya yang bisa jadi mewarisi ke-killer-an Sang Dosen jika suatu saat nanti dengan perestasi akademiknya yang baik bisa mengambil profesi yang sama. Kita tentu dapat menyaksikan, perilaku mengajar dosen-dosen kita banyak yang mewarisi para pendahulunya, bahkan mengaggapnya sebagai suatu keharusan untuk diterapkan di dunia pendidikan tinggi agar mahasiswa tidak membawa sifat kanak-kanaknya ke lingkungan kampus. Jika dosen seperti ini mampu membawa 'sukses akademik' bagi sedikit mahasiswa tertentu, tentu kita patut bertanya tentang keberpihakan pendidikan bagi lebih banyak orang. Apakah dunia pendidikan akan dijadikan wilayah penjajahan atau sarana untuk melestarikan penjajahan? Mahasiswa yang dibesarkan di lingkungan terjajah, dimana pikiran dan kreativitasnya terbelenggu oleh sistem pembelajaran tidak akan mampu membawa perubahan sosial ke arah yang lebih baik, tetapi justru akan tampil sebagai penjajah baru yang mewarisi perilaku pendahulunya.
Tidak hanya dosen killer, tetapi dosen dengan cara dan gaya mengajar yang buruk sangat disayangkan tetap berkecimpung di dunia pendidikan. Sebagai sebuah profesi dengan kualifikasi pendidikan yang tinggi, tentunya dosen harus dapat berinovasi agar mampu menginspirasi mahasiswanya untuk maju dan sukses tanpa teror dan ancaman nilai 'E'. Kita patut bersyukur, saat ini sudah banyak dosen-dosen muda berpikiran lebih terbuka dengan prestasi akademik dan non akademik yang hebat. Kita berharap besar kepada mereka agar mampu 'menggairahkan' perkuliahan dan membawa perubahan yang signifikan pada dunia kampus sehingga tidak lagi menjadi lahan penjajahan yang berkedok pendidikan. Menjadi dosen inspiratif tentu sulit, tetapi segalanya menjadi mungkin dengan kesungguhan dan semangat untuk menjadi bagian dari perubahan. Semangat dan metode baru perkuliahan harus terus dikembangkan. Rhenald Kasali telah memberikan contoh dengan memelopori metode Participant Centered Learning (PCL) di Indonesia. Sistem PCL diadaptasi dari pola pengajaran sekolah-sekolah bisnis terkemuka dunia, di antaranya adalah Harvard Business School (HBS). Langkah ini seharusnya dapat diikuti dengan lebih progresif lagi agar dapat mengawal mahasiswa yang tidak hanya cakap mencari nilai akademis, tetapi lebih cerdas menemukan jati diri.
Dalam UU No. 14 tahun 2005 tidak disebutkan syarat 'inspiratif' bagi dosen. Tetapi kemampuan menginspirasi bagi dosen sangat menunjang tugasnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa "pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Sifat inspiratif bagi seorang dosen merupakan kemampuan menggerakkan mahasiswanya tanpa memaksa, membangun kesadaran dan ketulusan untuk berbuat lebih baik dan memperbaiki. Kemampuan seperti ini adalah karakter dari fungsi dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Saya tidak hendak membahas hal ini dalam nuansa akademis yang serba ilmiah karena itu di luar kemampuan saya. Maksud saya menghadirkan tulisan ini sekedar mencurahkan gagasan-gagasan lepas dari penyaksian saya terhadap berbagai fenomena pembelajaran di perguruan tinggi yang seharusnya 'menyenggol' sifat kritis mahasiswa. Mahasiswa kritis dalam hal ini bukanlah yang hanya pintar menghakimi situasi yang tak patut dalam nalarnya, tetapi yang mampu menawarkan ide-ide cemerlang dan aplikatif untuk mengarahkan situasi menjadi lebih baik dan bermakna. Sebagai salah seorang mahasiswa di Sekolah Tinggi Teknologi Industri Bontang (STTIB), saya akan sangat bersemangat ketika membincang tentang visi masa depan STTIB. Saya hendak meyakinkan bahwa betapapun selama kuliah di suatu kampus kita banyak mendapatkan pengalaman yang tidak nyaman, baik dalam berhadapan dengan dosen berbagai model, maupun dalam berurusan dengan birokrasi kampus, namun ketika berada di luar atau setelah menjadi alumni, kita cenderung membanggakan almamater kita. Saya ingin spirit ini menjangkit kepada seluruh mahasiswa STTIB agar satu suara menggerakkan perbaikan kampus sehingga kelak kita tidak mendongengkan kebanggaan semu yang sejatinya adalah sedimentasi kekecewaan.
Kembali ke masalah 'inspiratif', Rhenald Kasali pernah menulis tentang fenomena guru yang dibaginya dalam dua kategori, guru kurikulum dan guru inspiratif. Guru kurikulum mengajar sesuai standar kurikulum sedangkan guru inspiratif tidak hanya terpaku pada kurikulum, tetapi memiliki orientasi yang lebih luas dalam mengembangkan potensi dan kemampuan siswanya. Merujuk pada pembagian Rhenald Kasali, kategorisasi ini tidaklah dimaksudkan dalam sisi negatif yang tidak diinginkan. Karena menurutnya, keduanya tetap dibutuhkan meskipun beliau menekankan nilai plus bagi guru yang inspiratif. Tapi sayangnya, guru inspiratif hanya terwakili kurang dari 1 persen dari guru yang ada. Situasi ini dimapankan oleh sistem sekolah kita yang hanya memberi ruang bagi guru kurikulum.Guru dalam pengertian ini tentunya tidak harus dibatasi sampai jenjang SLTA saja atau dalam lingkup pendidikan formal saja. Tetapi dapat mencakup makna guru yang lebih luas termasuk dosen di perguruan tinggi.
Pada bagian terpisah dari fenomena guru kurikulum dan guru inspiratif, mahasiswa kadang dibuat gusar oleh keberadaan dosen yang diberinya label 'killer'. Secara umum, killer berarti pembunuh. Tetapi dapat pula berarti sesuatu yang menyulitkan atau mempersulit. Arti yang kedua ini mungkin menjadi dasar labelisasi dosen killer. Tidak perlu dijelaskan di sini tentang ciri-cirinya, karena rasanya terlalu naif jika ada mahasiswa tidak paham yang dimaksud. Satu hal yang ingin dipastikan di sini bahwa Sang Dosen Killer tidak akan membawa suasana yang enak di hati mahasiswa, terutama mahasiswa yang manganut paham permisif (serba boleh) dalam ujian jika tidak ketahuan pengawas. Tetapi bagi mahasiswa yang 'manis dan penurut', tentu akan berkilah untuk mengambil sisi positifnya seperti dijadikan pemacu untuk lebih giat belajar dan bersungguh-sungguh mencerna kuliah dari Si Dosen Killer. Sayangnya mahasiswa seperti ini tidak banyak dan kita patut curiga pada masa depannya yang bisa jadi mewarisi ke-killer-an Sang Dosen jika suatu saat nanti dengan perestasi akademiknya yang baik bisa mengambil profesi yang sama. Kita tentu dapat menyaksikan, perilaku mengajar dosen-dosen kita banyak yang mewarisi para pendahulunya, bahkan mengaggapnya sebagai suatu keharusan untuk diterapkan di dunia pendidikan tinggi agar mahasiswa tidak membawa sifat kanak-kanaknya ke lingkungan kampus. Jika dosen seperti ini mampu membawa 'sukses akademik' bagi sedikit mahasiswa tertentu, tentu kita patut bertanya tentang keberpihakan pendidikan bagi lebih banyak orang. Apakah dunia pendidikan akan dijadikan wilayah penjajahan atau sarana untuk melestarikan penjajahan? Mahasiswa yang dibesarkan di lingkungan terjajah, dimana pikiran dan kreativitasnya terbelenggu oleh sistem pembelajaran tidak akan mampu membawa perubahan sosial ke arah yang lebih baik, tetapi justru akan tampil sebagai penjajah baru yang mewarisi perilaku pendahulunya.
Tidak hanya dosen killer, tetapi dosen dengan cara dan gaya mengajar yang buruk sangat disayangkan tetap berkecimpung di dunia pendidikan. Sebagai sebuah profesi dengan kualifikasi pendidikan yang tinggi, tentunya dosen harus dapat berinovasi agar mampu menginspirasi mahasiswanya untuk maju dan sukses tanpa teror dan ancaman nilai 'E'. Kita patut bersyukur, saat ini sudah banyak dosen-dosen muda berpikiran lebih terbuka dengan prestasi akademik dan non akademik yang hebat. Kita berharap besar kepada mereka agar mampu 'menggairahkan' perkuliahan dan membawa perubahan yang signifikan pada dunia kampus sehingga tidak lagi menjadi lahan penjajahan yang berkedok pendidikan. Menjadi dosen inspiratif tentu sulit, tetapi segalanya menjadi mungkin dengan kesungguhan dan semangat untuk menjadi bagian dari perubahan. Semangat dan metode baru perkuliahan harus terus dikembangkan. Rhenald Kasali telah memberikan contoh dengan memelopori metode Participant Centered Learning (PCL) di Indonesia. Sistem PCL diadaptasi dari pola pengajaran sekolah-sekolah bisnis terkemuka dunia, di antaranya adalah Harvard Business School (HBS). Langkah ini seharusnya dapat diikuti dengan lebih progresif lagi agar dapat mengawal mahasiswa yang tidak hanya cakap mencari nilai akademis, tetapi lebih cerdas menemukan jati diri.
JTG at Harrah's Cherokee Casino closes its gaming
BalasHapusHarrah's 포천 출장마사지 Cherokee Casino & Hotel, 울산광역 출장마사지 which 하남 출장안마 opened in November 2008, is closing its doors to the public Wednesday. The casino announced Monday 구리 출장샵 that it 전라남도 출장안마